Transpublik.com, Medan – Pesantren yang tertua di Sumatera Utara (Sumut) yakni Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru Kab. Mandailing Natal, adalah start awal pendidikan Bang Marahalim, begitu panggilan akrab Ketua PWNU Sumut Dr. H. Marahalim Harahap, M.Hum, yang dilahirkan di S. Aling, Tapsel, 14 Mei 1972 ini.
Mustafawiyah merupakan pesantren dengan sistem yang sangat mandiri dan berpondokkan gubuk-gubuk kecil menuntut para santrinya tak sebatas menjadi ahli dalam agama, namun mampu menyikapi kehidupannya yang keras secara nyata.
Pesantren Mustafawiyah telah berkembang pesat dengan muridnya ribuan. Pesantren Musthafawiyah pun masyhur dengan sebutan Pesantren Purba, hal ini mengingat lokasinya yang berada di Purba Baru. Di samping itu, Pesantren tersebut dikenal dengan cirinya yang sangat khas dan unik, yakni santri diminta untuk mendirikan kamarnya sendiri berupa pondok atau gubuk kecil dengan jumlah ratusan. Gubuk-gubuk itu kini menjadi suatu keindahan yang menghiasi pandangan mata saat melintas di jalan lintas sepanjang jalan depan pesantren. Tampilan gubuk yang bahkan membuat para kyai dari Jawa terkejut melihat estetik gubuk yang menjadi tempat tinggal para santri pesantren.
Namun layaknya kehidupan di Pesantren dengan lingkup yang tertutup, senioritas, dan model pembelajaran tradisional hadir dari beraneka ragam budaya dan kultur. Kondisi ini menempa kepribadian santri bernama Marahalim.
Menurut Bang Marahalim, barokah nyantri di Pesantren ini sungguh luar biasa, sama halnya dengan apa yang dinyatakan oleh para ‘ndrek’ kyai bahwa di Nahdlatul Ulama itu penuh dengan barokah. Kehidupan pesantren yang penuh barokah ini menjadi hal penting untuk dijadikan pegangan para santri. Sering kali kita mendengar, setinggi apapun ilmu yang didapatkan jika tidak mendapatkan barokah Kiainya, maka ilmu yang didapat akan sia-sia.
Dalam hal ini barokah para Kiai yang biasa dipanggil “Ayah” di Mustafawiyah itu beliau dapat kembali ke jalan yang diridhai Allah dengan menjauhkan diri dari ilmu “kedigdayaan” dan menjaga akhlak yang mulia sebagai santri dari salah satu pesantren terbaik di Indonesia.
Sebaimana hal tersebut senada dengan tujuan dari Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru yakni mencetak ulama yang ber-akhlakul karimah berdasarkan ahlus sunnah wal jamāah yang bermazhab Syafi’i.
Sementara itu, dengan memperhatikan dari visi dan misi Pondok Pesantren Musthafawiyah maka para alumni dituntut untuk terampil pada urusan Agama dan sebagai panutan di tengah masyarakat, lantas pada saat merantau ke Kota Medan, sembari melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sarjana, Maharalim sehari-hari tinggal di masjid sebagai marbot.
Berbekal kuliah di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan pada hakikatnya menjadi tantangan nyata baginya, di mana beliau tidak memiliki skill yang begitu banyak untuk lebih kuat hidup di tengah masyarakat kota Medan yang identik dengan kekerasan dan premanisme, melainkan hanya menjadi seorang ustadz yang tinggal menumpang di masjid serta melakukan kegiatan mengajar ngaji sebagai upaya penambah amunisi kehidupan keseharian beliau.
Lebih dari itu, beliau pernah berupaya meningkatkan pendapatan harian menyikapi perkuliahan yang membutuhkan rupiah yang banyak hingga beralih kerja menjadi tukang becak di Kota Medan, akan tetapi hal tersebut tak berjalan lancar dan lama mengingat basic aslinya hanya seorang ustad dan guru ngaji serta tak siap menikmati kerasnya hidup di atas aspal dan di bawah matahari.
Namun sikap ikhlas dan sabar yang diajarkan di Pesantren serta pesan Thariq bin Zaid saat menjadi panglima perang “in shabartum ‘ala al-asyaqqi qalilan, fastamta’tum ‘ala alazzi thawilan” terus beliau jadikan sebagai trik dalam menyikapi kehidupan hingga akhirnya mulai menikmati manisnya.
Hingga pada saat beliau melanjutkan studinya jenjang magister di almamater yang sama dalam bidang hukum, beliau tidaklah lagi hanya sebatas guru mengaji dari rumah ke rumah namun menjadi seorang dai kondang yang masyhur dan disenangi masyarakat di Kabupaten Deli Serdang.
Lebih dari itu, dengan kemasyhuran beliau dan banyaknya masyarakat Deli Serdang yang menyenangi serta mengagumi, pada tahun 2009 beliau diamanatkan masyarakat Deli Serdang sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara. Kedudukannya menjadi seorang wakil dewan tidaklah membuatnya menjadi sosok yang enggan bergaul dan bermasyarakat juga syiar agama, namun momen tersebut ia jadikan sebagai wadah berkomununikasi dengan para tokoh luar biasa yang saling support dalam hal syiar dan memperhatikan maslahat umat.
Perhatiannya terhadap maslahat umat tak berhenti begitu masa jabatan sebagai wakil rakyat berakhir, melainkan upaya syiar terus beliau kembangkan walau sesekali harus menggunakan ekonomi rumah tangga. Status beliau sebagai dai yang tidak ASN, menuntutnya terus berjuang sungguh-sungguh dengan tetap memperhatikan komunikasi dan relasi yang baik dengan para tokoh agama dan tokoh publik, hingga akhirnya ia semakin akrab dengan keluarga seorang tokoh dan sosok agamis yang dermawan bernama Musa Rajeksah dan tetap saling support dalam kebaikan.
Di sisi lain, beliau mengikrarkan diri untuk istiqamah memperjuangkan umat dengan bergabung sebagai pengurus di Nahdlatul Ulama. Dalam hal ini, amanah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama beliau awali dari jenjang terbawah sebagai Pengurus Ranting NU, MWC (Majelis Wakil Cabang) NU Kec. Medan Selayang, kemudian menjadi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Medan hingga PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Sumatera Utara sebagai Wakil Ketua 3 (tiga) periode, yang kini selanjutnya menjadi Ketua PWNU Sumatera Utara.
Kiprahnya sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sumatera Utara tidak membuatnya merasa hebat dan merasa berkuasa, namun keadaan tersebut beliau jadikan sebagai momen terbaik untuk terus belajar secara langsung ke para alim ulama sepuh Pulau Jawa, seperti belajar langsung ke KH Yahya C. Staquf selaku Ketua Umum PBNU maupun kepada Gus Saifullah Yusuf, yang keduanya beliau jadikan sebagai mentor kehidupan, baik dalam berpolitik maupun mensejahterakan umat.
Lantas wajar jika dalam berbagai even nasional maupun internasional yang dihadiri keduanya beliau berupaya turut hadir langsung, walau harus mengoceh kantong sendiri, guna meneladani sosok yang beliau kagumi dan belajar secara langsung dengan bergaul bersama ulama dan menghormatinya.
Namun, itu semua tak menutup semangat akademis beliau, beliau yang kini semakin mashyur dan dikagumi banyak pihak dengan tetap memperhatikan motto pesantren yang telah mendidik karekternya yang juga merupakan ayat al-Quran: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Hingga beliau tetap semangat melanjutkan estafet pendidikannya dengan berupaya mencapai gelar Doktor dalam strata S3.
Dalam hal ini, Program Doktoral Universitas Sumatera Utara pernah menjadi pilihannya dan memang memberikan kesan terbaik bagi para dosen, hingga menjadi mahasiswa favorit bagi seorang dosen pakar hukum di USU, Prof. Dr. Solly Lubis, SH.
Namun, dengan kesibukan yang sangat ekstra program tersebut tak dapat terselesaikan dengan sempurna. Lebih dari itu, tampaknya Allah lebih mengarunia Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan-lah yang menjadi almamater terakhir dan terbaik bagi beliau, hingga kini beliau resmi menjadi Doktor bidang Filsafat Politik dari Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam, UIN Sumatera Utara, Medan.
(TP/TIM/MS)